Rabu, 04 Januari 2012

Populasi Burung Beo

Bagi setiap orang memiliki agama itu merupakan bagian dari properti pribadi. Sebab itu bila ada agama lain yang dinilai “mengintervensi” agamanya, ia pasti marah. Kemarahannya luar biasa besar. Bahkan rela berpisah dengan anak-istri tercinta beserta keluarganya. Seseorang yang beragama senantiasa siap menjemput maut dengan senyum, karena meyakini bahwa mereka tengah berlari menjemput pelukan tuhan.
Dalam berbagai cerita sejarah tentang agama-agama di bumi ini, tak satupun yang luput dari peperangan antar-pemeluk agama satu dengan agama lain, dengan berbagai dalih. Dan, cerita sejarah itu berlangsung terus hingga hari ini dengan berbagai versi dan perbedaan potret tampilan. Kasat mata, di negara paling demokratis pun, tidak satu pun yang terlibat perang tanpa membawa nilai agama. Singkatnya, nilai-nilai agama tetap menjadi landasan keputusan dalam segala bentuk kebijakan politik.
Formalistik Burung Beo
Kajian atas firman-firman Allah yang tertuang dalam kitab suci, nyaris tenggelam tergerus roda modernisasi yang semakin mendesakralisasi nilai-nilai beragama. Sementara kalangan pengikut agama yang masih kuat meyakini bahkan fanatik, terasa menuju ke arah formalistik burung beo. Ritual-ritual agama dijalankan begitu saja. Dikerjakan seperti baris-berbaris dan upacara bendera yang rutin dilaksanakan setiap senin, dengan hapalan teks-teks proklamasi serta sila-sila Pancasila.
Setelah upacara, mereka bubar. Nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi landasan berpikir sekaligus bersikap, tak muncul dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kalangan pemuka agama lebih suka tampil dengan hiasan-hiasan dan pernik-pernik keduniawian. Muncul di berbagai jalur media massa, bersaing ketat dengan kaum selebritis. Bahkan ada yang menjadi topik bahasan utama pada acara infotaiment karena persoalan syahwat, terlepas dari nilai benar-salah.
Di sisi lain, ada kelompok agama yang matanya senantiasa berbinar merah karena selalu marah. Pekerjaannya setiap hari nyaris hanya meneliti kesalahan agama orang lain dalam bertuhan. Mereka siap menghancurkan apa saja yang menurut penilaiannya, tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang mereka anut. Kelompok ini pun kemudian mewujud menjadi pasukan “berani mati”. Tidak takut kepada siapa pun. Termasuk terhadap perangkat negara di bidang kamtibmas. Mereka mengaku hanya takut kepada tuhan.
Sikap kelompok yang disebut terakhir ini memang tidak sepenuhnya salah. Malah mungkin seratus persen benar. Sebab dalam keadaan sosial kemasyarakatan yang semakin kacau, tak bermoral, serta amburadul, setidaknya ada 3 (tiga) pihak yang patut ditunjuk sebagai terdakwa. Yang pertama, adalah para pemuka agama/ulama, kedua, orang kaya, dan ketiga pemimpin negara ini. Sebab kepada ketiganyalah warga bangsa ini berkiblat.
Mengapa pemuka agama menempati uutan pertamaa? Logika sederhananya, mereka adalah penjaga moral umat. Terlepas umat itu berkedudukan sebagai orang kaya atau pemimpin. Andai setiap pemuka agama/ulama mampu menjaga masing-masing umatnya, tentu kehidupan ini bakal bergerak ke arah yang semakin baik. Sebab terdakwa kedua, yakni orang kaya pasti akan bersikap dermawan. Mereka pasti tidak ingin memonopoli rizki yang dianugerahkan tuhan, sepenuhnya semata diperuntukan dan demi memuaskan syahwat perut serta kemaluannya.
Demikian juga terhadap terdakwa ketiga, yaitu para pemimpin yang seharusnya melandasi setiap langkah kebijakan politiknya sesuai nilai-nilai religius, demi kehidupan moral bangsa yang semakin baik. Para pemimpin bukan malah terjerumus, terjebak fatamorgana dunia, kemudian berlomba menjadi orang kaya baru. Tak peduli lagi dari mana mereka mengumpulkan kekayaan. Hasil korupsikah, punglikah, atau dari obyekan menjadi makelar kasus.
Apa Bedanya?
Bila umat beragama menjalankan agamanya semata formalistik burung beo, lalu apa bedanya dengan mereka yang kafir. Yang menutupi kebenaran dengan perilaku tokenistik, kepura-puraan. Sosok mereka yang tampak secara lahiriah, tak lebih dari topeng badut yang menyembunyikan potret batiniyahnya. Ceramah-ceramah agama hanya sebagai bungkus, sebagai kemasan, sekadar menunjukkan eksistensi suatu agama. Selebihnya, formalistik burung beo.
Burung beo bisa menirukan perkataan apa saja, kalau kita mau melatihnya setiap hari. Tapi coba tanyakan maknanya, mengapa ia mengucapkan kata itu, burung beo pasti hanya mampu mengulangi perkataannya itu berulang-ulang. Tidak ada bekas dalam perilaku kehidupan kesehariannya. Burung beo terus-menerus mengucapkan kata-kata yang kita ajarkan kepadanya, tanpa mampu diekspresikan sekaligus diaplikasikan dalam praktika hidup bermasyarakat. Maka, jika kita meyakini diri sebagai umat beragama, jangan pernah mau menjadi burung beo.