Bagi
setiap orang memiliki agama itu merupakan bagian dari properti pribadi.
Sebab itu bila ada agama lain yang dinilai “mengintervensi” agamanya,
ia pasti marah. Kemarahannya luar biasa besar. Bahkan rela berpisah
dengan anak-istri tercinta beserta keluarganya. Seseorang yang beragama
senantiasa siap menjemput maut dengan senyum, karena meyakini bahwa
mereka tengah berlari menjemput pelukan tuhan.
Dalam
berbagai cerita sejarah tentang agama-agama di bumi ini, tak satupun
yang luput dari peperangan antar-pemeluk agama satu dengan agama lain,
dengan berbagai dalih. Dan, cerita sejarah itu berlangsung terus hingga
hari ini dengan berbagai versi dan perbedaan potret tampilan. Kasat
mata, di negara paling demokratis pun, tidak satu pun yang terlibat
perang tanpa membawa nilai agama. Singkatnya, nilai-nilai agama tetap
menjadi landasan keputusan dalam segala bentuk kebijakan politik.
Formalistik Burung Beo
Kajian
atas firman-firman Allah yang tertuang dalam kitab suci, nyaris
tenggelam tergerus roda modernisasi yang semakin mendesakralisasi
nilai-nilai beragama. Sementara kalangan pengikut agama yang masih kuat
meyakini bahkan fanatik, terasa menuju ke arah formalistik burung beo.
Ritual-ritual agama dijalankan begitu saja. Dikerjakan seperti
baris-berbaris dan upacara bendera yang rutin dilaksanakan setiap
senin, dengan hapalan teks-teks proklamasi serta sila-sila Pancasila.
Setelah
upacara, mereka bubar. Nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi
landasan berpikir sekaligus bersikap, tak muncul dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Kalangan pemuka agama lebih suka tampil dengan
hiasan-hiasan dan pernik-pernik keduniawian. Muncul di berbagai jalur
media massa, bersaing ketat dengan kaum selebritis. Bahkan ada yang
menjadi topik bahasan utama pada acara infotaiment karena persoalan syahwat, terlepas dari nilai benar-salah.
Di
sisi lain, ada kelompok agama yang matanya senantiasa berbinar merah
karena selalu marah. Pekerjaannya setiap hari nyaris hanya meneliti
kesalahan agama orang lain dalam bertuhan. Mereka siap menghancurkan apa
saja yang menurut penilaiannya, tidak sesuai dengan nilai-nilai agama
yang mereka anut. Kelompok ini pun kemudian mewujud menjadi pasukan
“berani mati”. Tidak takut kepada siapa pun. Termasuk terhadap perangkat
negara di bidang kamtibmas. Mereka mengaku hanya takut kepada tuhan.
Sikap
kelompok yang disebut terakhir ini memang tidak sepenuhnya salah. Malah
mungkin seratus persen benar. Sebab dalam keadaan sosial kemasyarakatan
yang semakin kacau, tak bermoral, serta amburadul, setidaknya ada 3
(tiga) pihak yang patut ditunjuk sebagai terdakwa. Yang pertama, adalah para pemuka agama/ulama, kedua, orang kaya, dan ketiga pemimpin negara ini. Sebab kepada ketiganyalah warga bangsa ini berkiblat.
Mengapa
pemuka agama menempati uutan pertamaa? Logika sederhananya, mereka
adalah penjaga moral umat. Terlepas umat itu berkedudukan sebagai orang
kaya atau pemimpin. Andai setiap pemuka agama/ulama mampu menjaga
masing-masing umatnya, tentu kehidupan ini bakal bergerak ke arah yang
semakin baik. Sebab terdakwa kedua, yakni orang kaya pasti akan
bersikap dermawan. Mereka pasti tidak ingin memonopoli rizki yang
dianugerahkan tuhan, sepenuhnya semata diperuntukan dan demi memuaskan
syahwat perut serta kemaluannya.
Demikian juga terhadap terdakwa ketiga,
yaitu para pemimpin yang seharusnya melandasi setiap langkah kebijakan
politiknya sesuai nilai-nilai religius, demi kehidupan moral bangsa yang
semakin baik. Para pemimpin bukan malah terjerumus, terjebak
fatamorgana dunia, kemudian berlomba menjadi orang kaya baru. Tak peduli
lagi dari mana mereka mengumpulkan kekayaan. Hasil korupsikah,
punglikah, atau dari obyekan menjadi makelar kasus.
Apa Bedanya?
Bila
umat beragama menjalankan agamanya semata formalistik burung beo, lalu
apa bedanya dengan mereka yang kafir. Yang menutupi kebenaran dengan
perilaku tokenistik, kepura-puraan. Sosok mereka yang tampak secara
lahiriah, tak lebih dari topeng badut yang menyembunyikan potret
batiniyahnya. Ceramah-ceramah agama hanya sebagai bungkus, sebagai
kemasan, sekadar menunjukkan eksistensi suatu agama. Selebihnya,
formalistik burung beo.
Burung
beo bisa menirukan perkataan apa saja, kalau kita mau melatihnya setiap
hari. Tapi coba tanyakan maknanya, mengapa ia mengucapkan kata itu,
burung beo pasti hanya mampu mengulangi perkataannya itu berulang-ulang.
Tidak ada bekas dalam perilaku kehidupan kesehariannya. Burung beo
terus-menerus mengucapkan kata-kata yang kita ajarkan kepadanya, tanpa
mampu diekspresikan sekaligus diaplikasikan dalam praktika hidup
bermasyarakat. Maka, jika kita meyakini diri sebagai umat beragama,
jangan pernah mau menjadi burung beo.